GAYA BAHASA DARI BAHASA INGGRIS KE BAHASA INDONESIA
Dr. Rudi Hartono, M.Pd.
Universitas Negeri Semarang
rudi_fbsunnes@yahoo.com
ABSTRACT
Translating idioms and figurative languages is more difficult than translating ordinary expressions. Novel translators usually have problems in translating those aspects because they should reproduce in the target language (TL) the closest natural equivalence of the source language (ST) message, firstly in terms of meaning and secondly in terms of style accepted socio-culturally. Idioms and figurative languages are sometimes not translated into the acceptable ones in the target language. The readers are often confused on what they are reading because expressions are not understandable. The solution of those problems is to provide a model of translating idioms and figurative languages. The model that is designed here to produce high quality of translation product is Tripartite Cycle Model.
Key words: translation, novel, metaphors, similes, idiomatic expressions, ST (Source Language), TL (Target Language), Tripartite Cycle Model
Pendahuluan
Saat ini banyak karya sastra dunia berupa drama, novel dan puisi telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Karya-karya terjemahan itu jauh melampaui jumlah karya asli pengarang Indonesia. Namun apakah aspek kuantitas ini juga disertai kualitas yang memadai? Kita tahu bahwa kualitas terjemahan di Indonesia sering digugat. Memang tidak sedikit karya terjemahan di Indonesia yang membuat pembacanya berkerut kening karena ia harus mereka-reka sendiri apa gerangan maksud tulisan di hadapannya. Kadang-kadang suatu naskah terjemahan baru dapat dipahami apabila kita membaca naskah aslinya (Setiadi dalam Taryadi, 2007).
Novel, sebagai bentuk karya sastra yang lengkap dan luas, banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Menerjemahkan novel tampaknya tidak semudah menerjemahkan teks biasa. Banyak penerjemah novel menghadapi kesulitan pada saat menerjemahkannya. Kesulitan-kesulitan tersebut meliputi berbagai macam aspek, di antaranya aspek linguistik, aspek budaya dan aspek sastra. Hal ini sejalan dengan pendapat Robinson (1977) dan Newmark (1988).
Setiadi dalam Taryadi (2007) mengemukakan bahwa ada beberapa persoalan dalam penerjemahan novel, di antaranya persoalan yang berkaitan dengan penerjemahan idiom dan gaya bahasa (misalnya, metafora, kiasan, personifikasi, aliterasi, dan asonansi). Berikut adalah beberapa contohnya:
1. Penerjemahan Idiom
Tsu : to kick the bucket
Tsa : mampus
2. Penerjemahan Metafora
Tsu : All the world’s a stage. – William Shakespeare
Tsa : Dunia ini panggung sandiwara.
3. Penerjemahan Kiasan
Tsu : My love is like a red, red rose. – Robert Burns
Tsa : Kekasihku bagaikan sekuntum mawar merah.
4. Penerjemahan Personifikasi
Tsu : The wind cried in the dark.
Tsa : Angin menangis di malam gelap.
5. Penerjemahan Aliterasi
Tsu : The dam ran dry during the drought.
Tsa : Tanggul mengering selama musim kemarau.
6. Penerjemahan Asonansi
Tsu : The rain in Spain falls mainly in the plains.
Tsa : Hujan di Spanyol sebagian besar turun di tanah datar.
Hardjoprawiro (2006: 35-43) menambahkan bahwa menerjemahkan novel berbeda dengan menerjemahkan teks biasa. Perbedaan itu terletak pada pemakaian berbagai ungkapan dan kiasan, yang hampir tidak dijumpai di dalam bahasa sains. Bahasa sastra bersifat konotatif dan banyak mengandung ungkapan idiomatik serta tuturan gaya bahasa, sedangkan bahasa ilmu (sains) bersifat denotatif dan mengandung bahyak istilah teknik. Hal tersebut diperkuat oleh Tianmin (2006: 15) yang mengatakan:
“Translation a novel is different from translating science. Science deals with universals; and literal translation may be welcomed by academics interested. The happenings in novels are semi-imaginary, being designed to move feelings of the community.”
Iser dalam Bassnett-McGuire (1991: 115) menambahkan bahwa menerjemahkan novel itu bukan sekedar menerjemahkan pernyataan yang tersurat dalam serangkaian kalimat, namun memahami tujuan apa yang tersirat di balik pernyataan itu, sehingga tidak sedikit para penerjemah melakukan kecerobohan dalam menerjemahkan novel, misalnya mereka melakukan:
(1) kesalahan dalam menerjemahkan informasi,
(2) penambahan interpretasi dari teks asli, dan
(3) penginterpretasian dangkal atas beberapa hal penting yang saling berkaitan yang terkandung di dalam karya sastra dan pada akhirnya munculah sebuah hasil terjemahan novel yang menyimpang dari teks dan konteks aslinya.
Berkaitan dengan definisi penerjemahan itu sendiri, setiap pakar memiliki pendapat yang berbeda-beda. Larson (1984: 3) menyatakan: “Translation is transferring the meaning of the source language into the receptor language. This is done by going from the form of the first language to the form of a second language by way of semantic structure. It is meaning which is being transferred and must be held constant.” Kemudian Newmark (1988: 5) mengemukakan: “Translation is rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text.” Selanjutnya Sperber and Wilson dalam Bell (1991:6) mengutarakan: “Translation is the replacement of a representation of a text in one language by a representation of an equivalent text in a second language.” Di samping itu Steiner dalam Choliludin (2006: 5) menjelaskan: “Translation can be seen as (co) generation of texts under specific constraints that is relative stability of some situational factors and, therefore, register, and classically, change of language and (context of) culture.”
Dari sekian definisi yang telah disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa penerjemahan merupakan sebuah aktivitas membaca pesan penulis teks sumber (Tsu) dan mereproduksi keseluruhan pesan tersebut ke dalam bahasa yang dipahami oleh penerima pesan atau pembaca teks sasaran, sehingga apa yang dimaksud oleh penulis teks sumber dapat diketahui oleh pembaca teks sasaran.
Penerjemahan Idiom dan Gaya Bahasa
a. Idiom
Yang dimaksud dengan idiom dalam hal ini adalah sekelompok kata yang maknanya tidak dapat dicari dari makna kata-kata unsurnya. Berikut beberapa pendapat dari para pakar linguistik yang memberi komentar terhadap pengertian idiom.
Crystal (1985: 152) menyatakan bahwa idiom atau idiomatik adalah istilah yang digunakan dalam grammar dan lexicology yang merujuk kepada serangkaian kata yang terbatas secara semantis dan sintaksis, sehingga hanya berfungsi sebagai satuan tunggal (single unit). Misalnya ungkapan It’s raining cat and dogs tidak bisa diterjemahkan satu persatu karena ungkapan tersebut adalah ungkapan idiomatik (idiomatic expression) yang harus diterjemahkan secara idiomatik juga, sehingga terjemahannya menjadi ’Hujan lebat’. Richards (1992: 172) menambahkan bahwa idiom adalah sebuah ungkapan yang berfungsi sebagai satuan tunggal dan maknanya tidak bisa dipecah-pecah, contohnya She washed her hands of the matter = She refused to have anything more to do with the matter.
Wang (2009) menyatakan bahwa idiom harus diterjemahkan ke dalam idiom. Jika penerjemah tidak menemukan idiom yang tepat, maka dia harus mencari padanannya. Cara yang dapat digunakan adalah paraphrase dan menjaga rasa aslinya (the original flavor) atau mencari strategi penerjemahan lainnya. Jadi semua nilai estetika dalam novel asli harus diupayakan muncul dalam novel terjemahan. Selanjutnya Retmono (2009) menambahkan bahwa ungkapan idiomatik sebaiknya diterjemahkan ke dalam ungkapan idiomatik juga, begitu pula metafora dan personifikasi. Penerjemah harus berupaya mencari padanannya atau menggantinya (replacing) dalam bahasa sasaran. Kemudian Huang dan Wang (2006: 2) mengemukakan bahwa ada tiga strategi yang dapat digunakan untuk menerjemahkan idiom. Pertama, menggunakan metode penerjemahan harfiah, yaitu mereproduksi isi dan gaya dari keseluruhan teks dengan tetap memperhatikan bentuk gaya bahasanya dan struktur atau pola kalimatnya. Kedua, menggunakan metode penerjemahan harfiah dengan kompensasi, yaitu menyampaikan makna harfiah sebuah idiom dalam teks sumber dengan cara memperkenalkan informasi penjelas atau efek stilistik dalam teks sasaran). Ketiga, menggunakan metode penerjemahan bebas, yaitu menyampaikan makna dan ruh dari ungkapan idiomatik teks sumber (Tsu) tanpa melakukan reproduksi pola kalimat atau gaya bahasa yang sama, tetapi menafsirkannya dalam teks sasaran (Tsa) secara optimal.
b. Metafora
Holman dan Harmon (1992: 287) menyatakan bahwa metafora adalah analogi yang membandingkan antara satu objek dengan objek yang lainnya secara langsung atau dengan kata lain adalah majas yang mengungkapkan ungkapan secara langsung. Misalnya She is my hearth adalah contoh dari gaya bahasa metafora karena seseorang (she) dalam kalimat di atas disamakan dengan hearth = jantung hatiku. Bagaimana bisa seseorang sebagai manusia disamakan dengan jantung. Hal semacam ini membutuhkan kepiawaian seorang penerjemah untuk mencari padanan majas tersebut dengan tepat dalam Bsa. Ungkapan tersebut dapat diterjemahkan menjadi ’Dia belahan jantung hatiku.’ Perhatikan contoh-contoh di bawah ini.
1. Tsu : He is a book-worm.
Tsa : Dia seorang kutu buku.
2. Tsu : You are the sunshine of my life.
Tsa : Kau adalah pelita hidupku.
Penerjemahan metafora sangat berbeda dengan penerjemahan tuturan biasa. Metafora (metaphor) adalah bentuk bahasa sastra yang rumit dan sulit untuk diterjemahkan. Metafora mengandung ranah sasaran (target domain), yaitu konsep yang digambarkan atau sebagai bagian awal dan ranah sumber (source domain), yaitu konsep perbandingan atau analoginya. Menurut Richards dalam Saeed (1997: 302-303), konsep pertama disebut tenor sedangkan yang kedua disebut vehicle. Gaya bahasa metafora dapat diterjemahkan dengan beberapa prosedur dan pendekatan yang memungkinkan. Penerjemah harus mencari padanan metafora yang tepat dan mengungkapkannya dengan makna yang sepadan. Barańczak (1990) dalam Dobrzyfńska (1995: 599) mengemukakan tiga prosedur yang mungkin dilakukan dalam menerjemahkan metafora. Pertama, prosedur M→M, yaitu menggunakan metafora yang benar-benar sepadan dengan metafora aslinya (using an exact equivalent of the original metaphor). Kedua, prosedur M1→M2, yaitu mencari ungkapan metafora yang mengandung makna yang sama (looking for another metaphorical phrase which would express a similar sense). Ketiga, M→P, yaitu mengganti metafora asli (yang tidak dapat diterjemahkan) dengan literal paraphrase yang memungkinkan (replacing an untranslatable metaphor of the original with its approximate literal paraphrase).
c. Kiasan
Tamsil atau kiasan (simile) adalah majas yang mengungkapkan ungkapan secara tidak langsung atau perbandingan dua objek yang berbeda sama sekali dengan dasar kemiripan dalam satu hal (Holman dan Harmon, 1995: 445). Metafora memiliki ciri perbandingan dengan menggunakan kata kerja bantu BE saja, sedangkan kiasan (simile) ini menggunakan kata-kata penghubung like, as, such as, as if, seem. Misalnya, My house is like your house (=’Rumahku mirip rumahmu’). Moentaha (2006: 190) berpendapat bahwa tamsil atau kiasan ini adalah perbandingan antara dua objek yang berlainan kelas. Simile, sebagai sarana stilistis, digunakan untuk menekankan ciri-ciri tertentu dari objek yang satu dibandingkan dengan ciri-ciri tertentu dari objek yang lain yang berbeda kelasnya. Sehingga jika ada kiasan semacam berikut: The boy seems to be as clever as his mother (‘Anak lelaki itu sepandai ibunya), bukanlah tamsil atau kiasan (simile) tetapi perbandingan biasa (ordinary comparison) karena boy dan mother berasal dari kelas yang sama. Menurut dia, contoh simile yang tepat adalah He is as brave as a lion yang diterjemahkan menjadi ‘Dia seberani banteng’ atau ‘Dia seberani pendekar’. Kata ‘banteng’ dan ‘pendekar’ sangat cocok di telinga orang Indonesia daripada kata ‘singa’, karena ‘singa’ adalah binatang buas yang kesannya kurang tepat. Jadi perbandingan itu sendiri kadangkala harus ditujukan atau disesuaikan dengan konteks sosiokultural pengguna Bsa.
d. Personifikasi
Frye (1985: 345) mengemukakan bahwa personifikasi adalah teknik memperlakukan segala sesuatu yang abstrak, benda atau binatang seperti manusia. Dalam bahasa Indonesia ada personifikasi ‘Saat kulihat rembulan, dia tersenyum kepadaku seakan-akan aku merayunya’. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi When I saw the moon, she smiled at me as if I flattered her. Lin (2008: 471) menyatakan bahwa personifikasi merupakan proses pengaktualisasian benda selain manusia secara simbolis dan menganggap benda tersebut sebagai makhluk hidup. Berikut adalah beberapa contoh tentang personifikasi dan terjemahannya:
1. The sun played peek-a-boo with the clouds (Matahari bermain cilukba dengan awan).
2. The wind cried in the dark (Angin menangis di gelap malam).
3. The lights blinked in the distance (Sinar berkedip dari kejauhan).
4. The snow kissed my cheeks as it fell (Salju mencium pipiku ketika turun).
5. The iron danced across the silken shirt (Setrikaan menari-nari di atas kemeja sutra).
6. The leaves waved goodbye to the tree (Dedaunan itu melambaikan salam perpisahan pada sang pohon).
Xiaoshu dan Dongming (2003: 2) berpendapat bahwa personifikasi dapat diterjemahkan ke dalam bentuk tuturan yang sepadan dengan menggunakan metode penerjemahan semantik yang luwes berestetika (Newmark 1998), metode penerjemahan bebas yang mengutamakan isi dengan bentuk parafrasa yang panjang (Moentaha, 2006), metode penerjemahan idiomatik yang alamiah (Choliludin, 2006) atau metode penerjemahan komunikatif yang sangat memperhatikan makna kontekstual secara kebahasaan dan isi (Machali, 2009).
e. Aliterasi
Aliterasi adalah sarana stilistis yang mengulang bunyi konsonan yang sama di permulaan kata yang membentuk rangkaian kata yang mapan, biasanya berpasangan (Moentaha, 2006: 182). Aliterasi ini sering muncul dalam karya sastra baik puisi maupun prosa atau sering muncul dalam headline surat jabar sebagai ungkapan daya tarik bagi pembaca seperti Summer of Support, Quips and Quirks, Frenzy at Franconia, Face the Future. Bagaimana kasus aliterasi ini jika diterjemahkan?
Seorang penerjemah harus mampu menerjemahkan aliterasi menjadi aliterasi juga agar rasa indah dalam hasil terjemahannya (Tsa) sama dengan nilai estetika dalam Tsu, sekalipun ia harus mencari kata-kata yang sangat jauh padanannya atau bahkan tidak sepadan asalkan nuansa aliterasinya muncul dalam produk terjemahannya. Perhatikan contoh berikut:
Tsu : ... between promise and performance.
Tsa 1 : ... antara janji dan pelaksanaannya. (tidak beraliterasi)
Tsa 2 : ... antara perkataan dan perbuatan. (beraliterasi)
Di samping itu ada contoh lain yang cukup baik, yaitu aliterasi ‘black beard’ yang diterjemahkan oleh penerjemah menjadi ‘janggut hitam’, sangat bagus jika diterjemahkan menjadi frase beraliterasi ‘janggut jelaga’. Jika penerjemah tidak menerjemahkan aliterasi ke dalam aliterasi dengan tetap mencari padanan yang paling dekat, maka efeknya akan lain dan hasil terjemahannya tidak “nyastra”, artinya hampa dari nilai sastra, karena teks sumbernya sendiri berbentuk karya sastra (Retmono, 2009).
Jika penerjemah tidak mampu menerjemahkan aliterasi ke dalam ungkapan bahasa sasaran yang lebih idiomatis, maka dia sebaiknya berupaya menerjemahkannya ke dalam bentuk aliterasi atau gaya bahasa lain yang memungkinkan dalam bahasa sasaran, asalkan memiliki equivalensi yang tepat. Demikian pula untuk kasus yang lainnya, penerjemah harus mencari padanan dalam bahasa sasaran dengan tetap memelihara unsur idiomatisnya (Wang, 2009).
f. Penerjemahan Aliterasi
1) Aliterasi dalam Tsu sebaiknya diterjemahkan ke dalam bentuk aliterasi dalam Tsa.
2) Aliterasi dapat diterjemahkan dengan metode harfiah dan mempertahankan pola bunyi konsonan yang sama pada setiap pasangan katanya.
3) Aliterasi dapat diterjemahkan dengan teknik peminjaman murni atau alamiah, yaitu mengambil kata langsung dari bahasa sumber atau bunyi tiruan yang sejenis.
Penutup
Dari hal-hal yang sangat berguna di atas, terdapat pula hal-hal yang kurang baik untuk digunakan, sehingga jika diterapkan akan berdampak buruk atau negatif terhadap proses penerjemahan dan produk yang dihasilkan. Hal-hal tersebut di atas di antaranya:
1. Jika gaya bahasa metafora diterjemahkan secara literal, maka produknya bukan metafora. Hal ini tidak sejalan dengan pendapat Newmark (1988) yang menganjurkan bahwa metafora harus direproduksi ke dalam bentuk metafora atau kalau tidak bisa, maka diganti dengan tamsilan yang standar dalam bahasa sasaran atau menerjemahkan metafora ke dalam kiasan (simile).
2. Jika gaya bahasa personifikasi diterjemahkan secara literal, maka hasilnya bukan personifikasi, padahal menurut Hu (2000), Xiaoshu dan Dongming (2003) bahwa gambaran artistic aslinya (the original artistic images) itu harus diwujudkan dalam bentuk personifikasi pula atau dihasilkan ulang dalam bentuk dan gaya bahasa yang sepadan dalam teks sasaran.
3. Jika gaya bahasa kiasan diterjemahkan secara literal, maka produknya bukan kiasan. Kiasan merupakan salah satu gaya yang memiliki nilai estetik, stilistik, kultural dan makna ideologis (Shiyab dan Lynch, 2006), maka dari itu gaya bahasa ini harus tetap diupayakan untuk diterjemahkan dengan mencari padanannya dalam teks sasaran, walaupun hal tersebut sangat sulit dilakukan.
4. Jika gaya bahasa aliterasi sama sekali tidak diterjemahkan ke dalam bentuk aliterasi, hal ini dapat menghilangkan nilai sastra dan estetika yang seharusnya dipelihara dalam teks sasaran. Padahal Xiaoshu dan Dongming (2003) mengemukakan bahwa nada dan ruh dalam teks sumber harus mampu tereflesikan dalam teks sasaran. Artinya bahwa, aliterasi sebagai salah satu gaya bahasa yang memiliki keindahan dalam bentuk bunyi suara, yang mengandung kedalaman makna, perlu mendapat perhatian untuk tetap dipelihara bentuk dan pesannya dalam bahasa sasaran.
Referensi